Nona muda bernama Aubrey Wynn itu lantas menoleh ke arah jendela luar kelasnya. Suasana kelas dan koridor yang cukup sepi dikarenakan penghuninya sedang mengungsi ke kantin. Hanya ada seorang lelaki yang tengah bersandar di dekat pintu masuk kelas sembari memegang ponselnya.
Pemuda dengan kemeja kusut yang dibiarkan keluar begitu saja, dasi yang asal-asalan dipakai, dan juga rambut berantakannya yang entah mengapa malah menjadi daya tarik miliknya tersendiri. Iya, pemuda itu Harvey Rain Jogger.
Atensi yang awalnya ia jatuhkan pada ponselnya kini beralih sempurna ke arah seorang gadis cantik surai sebahu di hadapannya. Manik cokelat hazelnya langsung berbinar kala melihat perempuan itu.
"Wah, Aubrey Wynn." Harvey lantas menyapa Aubrey yang sekarang tengah kikuk tak tahu harus bereaksi seperti apa.
"You look prettier in person," kata Harvey sambil menyunggingkan senyumnya.
Aubrey hanya menanggapinya sambil tertawa kecil.
"Dia ganteng, tapi minusnya suka flirting sana-sini."
"Haha makasih."
"Oh iya, gue mau minta maaf lagi soal kejadian kemarin-kemarin. Gara-gara gue lo malah digituin," ujar Harvey sambil menuntun Aubrey untuk berjalan di sampingnya.
"Eh, nggak apa-apa. Gue juga minta maaf. Soal surat-surat sama komentar-komentar jahat yang di Twitter." Aubrey gelagapan saat membalas ucapan Harvey.
Harvey terkekeh kecil kala melihat respon lucu milik Aubrey. "Oh my, how can you be so adorable??" ucapnya dengan suara kecil.
"Pardon?"
Jakarta, lihat! Bahkan sekarang ekspresi bingung yang kontras sekali tergambarkan pada kanvas wajah indah milik Aubrey begitu imut. Netra mata bulat berwarna hitam kelam itu berbinar indah, seperti mempunyai ribuan bintang di sana. Harvey tengah menahan diri mati-matian untuk tidak berperilaku aneh. Sebab kini, ia sangat ingin memasukkan Aubrey ke dalam saku kemejanya. She's so pocket-sized.
"Ah, engga hahaha. Lo biasanya kalau istirahat ke mana?" Harvey cepat-cepat mencuri topik lain. Pertemuan mereka akan menjadi canggung jikalau kejadian tadi terus berlanjut.
"Ke perpus atau kantin. Kalau lo?"
Harvey hanya tersenyum miris, sambil berkata, "gue latihan basket."
Pada nyatanya setiap istirahat Harvey pasti akan pergi ke belakang gedung aula yang sepi dan melakukan aksinya. Apa itu? Ya, merokok. Tapi kan nggak mungkin banget ia mengatakan itu kepada Aubrey yang baru saja ia temui hari ini.
Aubrey yang tertipu dengan kebohongan Harvey berseru kagum. "Pantesan setiap lo ikut turnamen basket, sekolah selalu menang. You really are an ace."
"Haha makasih. Tapi lo juga ace tau. Gue cuma baik di bidang basket, sedangkan lo? You have good grades, loved by teachers, the smartest student, always wins the olympiad. Gue kalau jadi orangtua lo pasti bangga sih."
"But I'm not good at sports. I'm really bad at it," kata Aubrey sambil cemberut.
"Basketball is not as difficult as you might think. Gue cuma diajarin 3 sampai 4 kali sama Papa, terus langsung bisa."
Harvey menoleh ke arah Aubrey yang berjalan di sebelahnya. Tersungging sebuah senyuman di sana.
"Mau coba nggak? Gue ajarin."
Setapak dua pasang tungkai itu menjajaki tanah pada sebuah lapangan tua di belakang gedung sekolah. Lapangan basket yang jarang dijamah para siswa dikarenakan ilalang-ilalang tinggi yang mengitari sekelilingnya. Walaupun sudah tua, kondisi lapangan itu masih cukup baik, dengan ring basket yang hanya tinggal sebuah.
Aubrey memilih duduk di sebuah kursi beton yang terletak di pinggir lapangan, sedangkan Harvey memulai aksinya dengan men-dribble bola basketnya. Pemuda dengan nama belakang Jogger itu memperlihatkan aksinya kepada Aubrey, ia juga melakukan shoot dari jarak jauh yang langsung mencuri kagum sang nona.
“See? Easy isn’t it?”
“It’s only easy for you, not for me,” ujar Aubrey sambil bangkit dari duduknya. Ia meraih bola basket yang diberikan oleh Harvey.
“Sini, coba berdiri di sini. Coba deh lo masukin bolanya ke dalam ring. Kalau bisa nanti gue traktir es krim.”
“Oh, ini mah mudah,” jawab sang nona dengan lagaknya. Namun, takdir berkata lain. Ia benar-benar buruk dalam bidang olahraga. Sudah 6 kali ia mencoba, tetapi tidak ada satu bola pun masuk ke dalam ring.
“Let me try one more time, PLEASE?!”
Aubrey mulai kembali mengambil posisi, bersiap untuk mengarahkan bola berwarna oranye itu ke dalam ring yang ada di hadapannya. Di saat ia tengah menitikkan fokusnya pada ring tersebut, sebuah tangan terulurkan di hadapannya.
“Posisi lo salah.” Harvey tepat berada di belakangnya kini. “Lebarin kaki lo, selebar bahu. Lututnya ditekuk dikit.”
“Ini tangan lo, harusnya nggak gini posisinya.” Tangan besar milik Harvey mulai menyentuh permukaan kulit lengan milik Aubrey. Entahlah ini hanya sekedar modus atau apalah, pokoknya Aubrey tak bisa bernafas sejenak saking gugupnya. They were very close!! And Aubrey was nervous because of that.
“Nah, sekarang coba!”
Aubrey menutup matanya sejeda saat bola itu lepas dari tangannya. Namun, tepuk tangan yang terdengar dari sisinya membuat Aubrey mengurungkan niatnya. Bola itu sukses masuk ke dalam ring.
“Congrats. You did it.”
Aubrey tak bisa menahan senyum lebarnya saat mengetahui tentang hal itu. Garis lengkung pada wajahnya melebar, bersamaan dengan matanya yang ikut tersenyum. Gadis itu meloncat-loncat penuh kesenangan.
“Wah, keren. Kayaknya lo udah bisa ikut turnamen bareng gue.”
Gelak tawa milik dua anak manusia itu bergema nyaring di lapangan tua dengan ilalang-ilalang yang tertiup hembusan angin tersebut. Bahkan jangkrik pun ikut bahagia melihat keduanya. Seperti dunia hanya milik mereka berdua saja.